Senin 5 Januari 2015, aku mengawali
semester genap dengan tugas prakerin di sebuah toko buku. Bukan toko buku bacaan sejenis Gramedia, melainkan toko buku
dan peralatan tulis. Sebuah toko yang berada di
kawasan pecinan. Aku sengaja memilih tempat prakerin yang dekat dengan
rumah agar menghemat ongkos. Setidaknya untuk mendapatkan pengalaman kerja
tidak harus membayar mahal, kan?
Tak banyak teman sekelas yang memilih
prakerin di dalam kota. Mayoritas temanku memilih prakerin di Jogja. Mereka kadung
kepincut suasana Jogja ketika kami survey lokasi tempo hari. Menurut
mereka, prakerin di Jogja lebih menguntungkan. Selain mendapatkan pengalaman
baru, mereka juga bisa sambil plesir di Jogja. Alih-alih belajar hidup mandiri
jauh dari orangtua selama 2 bulan dan mendapatkan upah magang.
Kalau ingat Jogja, aku jadi ingat dia.
Seseorang yang sempat istimewa buatku. Lebih tepatnya meminta diistimewakan
olehku. Dan stasiun Tugu, Yogyakarta menjadi saksi bisu kandasnya hubungan
kami.
Sebenarnya, dia tidak ikut dalam
rombonganku ke Jogja. Aku sempat mengajaknya, tapi ia menolak dan malah
mempermasalahkan keikutsertaanku ke Jogja. Memang acara survey lokasi prakerin
ke Jogja bukan acara resmi dari pihak sekolah. Tapi demi solidaritas aku wajib
ikut berpartisipasi bersama teman sekelasku. Dan aku tak mungkin membatalkannya
hanya demi memenuhi permintaan seseorang. Lagipula orangtuaku juga mengizinkan
aku pergi ke Jogja.
Acara ke Jogja itu dicetuskan oleh
Mario, sang Ketua kelas dan kami telah merencanakannya sejak awal semester
ganjil kelas XI. Selama enam bulan kami mengumpulkan uang kas kelas agar dapat
berangkat ke Jogja bersama-sama. Beruntung, di akhir semester kami berhasil
menyabet juara ketiga perlombaan pentas seni antar kelas. Dan uang dari hadiah itu dapat kami jadikan
dana tambahan untuk membiayai perjalanan kami ke Jogja.
Malam sebelum keberangkatanku ke Jogja,
aku dan dia terlibat percekcokan di telepon. Dia masih berusaha membujukku
untuk membatalkan kepergianku ke Jogja. Aku memang sempat galau dan tidak bisa
tidur hingga lewat tengah malam. Akibatnya, aku nyaris kesiangan ke stasiun
keesokan harinya.
Keberangkatanku ke Jogja diantar oleh
sms kekesalannya. Hanya sms singkat berbunyi “ya” sebagai balasan sms pamitanku
yang cukup panjang. Aku mencoba meneleponnya. Tidak diangkat dan malah
dimatikan. Sepertinya dia ngambek. Suasana pagi yang seharusnya segar berubah
pengap karena ulahnya.
Sesampai di Jogja aku berusaha
mengabaikan pikiranku tentang dia. Tapi tetap saja aku masih memikirkannya saat
menjejakan kakiku di sepanjang Malioboro. Aku sempat membayangkan betapa
menyenangkannya kalau dia ada di sampingku. Bergandengan tangan dan menemaniku
ngobrol di sepanjang jalan. Tanpa dia, aku jadi sangat pendiam. Rasanya enggan
untuk berbicara dengan oranglain.
Setelah puas menjelajahi Malioboro.
Mengamati display-display toko dan suasana perdagangan di sana, kami sepakat
berkumpul di Stasiun Tugu. Kami tidak ingin terlalu malam sampai di Kutoarjo,
maka kami putuskan untuk membeli tiket kereta jam 2.30 siang.
Masalah muncul saat rombongan kami
tercerai-berai. Beberapa orang belum datang di stasiun. Dan justru mereka
itulah yang membawa tiket kami. Kami berusaha untuk tetap tenang. Toh, jam
masih menunjukkan pukul 1 siang. Masih
ada waktu sejam lebih untuk beristirahat di stasiun.
Ketenanganku terusik saat sms berantai
darinya menyerbu ponselku. Belum selesai membalas satu sms, dua sms lainnya sudah menyusul
masuk. Tak puas dengan serbuan sms, dia beberapa kali miscall. Ketika kuangkat
dia hanya menanyakan “Kamu di mana? Dengan siapa? Lagi ngapain? Kok lama gak
dibalas?”. Sederet pertanyaan klise yang mirip lagu jadul.
Karena ulahnya itu, baterai ponselku
ngedrop. Mana tidak punya power bank dan tidak ada colokan lagi. Di saat
ponselku kritis, aku meminjam ponsel Kakakku untuk meletakkan SIM card-ku
sementara waktu. Syukurlah, Kakakku tidak keberatan.
Menjelang jam 2 siang, temanku si
pembawa tiket belum muncul. Suasana mulai memanas dinaungi cuaca mendung siang
itu. Perasaanku juga memanas ketika Kakakku mulai protes dengan dering
ponselnya. Serbuan sms darinya menghujani ponsel Kakakku. Wajah Kakakku yang
semula memerah karena kegerahan menjelma merah karena kekesalan terhadap sms
darinya. Bagaimana tidak, karena ia mengirim sms di waktu yang tidak tepat dan isi
sms yang tidak sesuai pula.
Aku jadi salah tingkah saat membaca
smsnya yang menanyakan tentang konfirmasi status facebook secara
berulang-ulang. Pertanyaan tentang hal sepele yang dianggapnya teramat penting
bagi status hubungan kami. Haduh, boro-boro online facebookan, untuk sms-an saja
aku pinjam ponsel Kakakku. Ia mengulang pertanyaan yang sama seakan-akan tidak
percaya jika ponselku beneran ngedrop.
Aku lumayan lega ketika temanku datang
membawa tiket kami. Kami langsung menuju peron dan mencari colokan charger.
Sayangnya, aku baru sadar kalo kabel charger-ku tertinggal di rumah. Jadinya
hanya ponsel Kakakku yang di-charge.
Dan serbuan sms darinya masih terus berlanjut hingga membuat Kakakku
ngomel-ngomel.
Hujan deras mengguyur Jogja. Petir
berkilatan dan mengelegar seolah berada sangat dekat denganku. Kabar buruknya,
kereta Prameks yang akan kami tumpangi terlambat datang. Hujan makin deras dan
membuat lantai stasiun digenangi air. Akhirnya, kami berpindah tempat dan mencari
lokasi yang kering sembari nge-charge.
Ponsel Kakak kembali berdering. Telepon
dari dia. Kakakku langsung me-reject panggilannya. Kakakku memang
berpantang menerima telepon bila sedang nge-charge ponsel. Berbahaya
katanya.
Sms darinya kembali menyerbu. Masih
permintaan yang sama “konfirmasi status facebook”. Kakakku menekuk wajahnya.
Semua sms darinya dihapus tanpa dibaca terlebih dahulu. Dia berulangkali
menelepon dan selalu di-reject oleh Kakak.
“Nih, baca! Cepetan balas dan suruh
berhenti sms lagi!” ketus Kakakku sambil menyodorkan ponsel yag masih di-charge.
“Ganggu banget. Cepetan, aku juga butuh ngabarin rumah kalo kita telat pulang.”
Dia masih menanyakan hal yang sama
dengan kalimat sedikit berbeda. Kalimat yang makin menyudutkanku. Seolah aku
jahat karena mengabaikan permintaannya. Dia menempatkan diri sebagai korban
kecuekanku. Aku tak habis pikir, sebegitu pentingnya status facebook baginya.
Rasanya ia tak peduli tentang keadaanku yang sedang capek dan kehujanan.
Hambar menjalari perasaanku. Seperti
inikah yang disebut pacaran? Pentingkah mengabarkan kepada seisi dunia maya
bahwa aku berpacaran dengannya melalui status “berpacaran” di facebook?
Boro-boro menanyakan keadaanku saat itu. Setidaknya sedikit pengertian dengan
mengatakan “Sabar, Dik” atau “hati-hati di perjalanan”, “semoga hujannya lekas
reda” atau apalah untuk sedikit menenangkanku. Toh besok aku dan dia bisa bertatap
muka langsung.
Akhirnya, aku melepas kabel charger
untuk menerima telepon darinya. Aku menepuk jidatku ketika dia masih membahas
status facebook di telepon. Astaga, apakah dia tidak mendengar gelegar petir
dari sana? Dengan berat hati aku mengatakan jika hubungan kami cukup sampai di
sini. Aku memintanya agar tidak mengangguku lagi. Dan telepon kuakhiri.
Sayangnya, dia keliru menangkap
pembicaraanku. Ia hanya mengartikan kalau aku memintanya berhenti menelepon dan
sms. Dia mengirim 2 sms terakhir yang isinya permintaan maaf dan pemakluman
bila aku belum mengkonfirmasi permintaannya. Astaga, rasanya aku ingin
mengunyah ponsel saat itu juga.
Bagiku, hubungan kami sudah berakhir
sore itu. Tapi dia masih belum menyerah untuk membuatku mengunyah ponsel.
Sesampai di rumah, aku langsung meminjam laptop Kakak untuk mengerjakan tugas
sekolah yang harus dikumpulkan hari Senin. Sambil menjelajahi internet
mengumpulkan materi, aku membuka facebook untuk menghapus pertemananku
dengannya. Belum sempat menekan kata remove, serbuan chatting
membanjiri inbox-ku. Permintaan maaf, rayuan, janji manis dan sejenisnya
bermunculan di kotak chatting.
Aku menjadi tak enak hati. Rasanya aku
jahat banget jika tidak memaafkannya kali ini. Okelah, aku beri dia kesempatan.
Aku tak tega membuat anak orang bersedih karena patah hati. Maka, aku
mengkonfirmasi status “berpacaran” dengannya saat itu. Dan ternyata, status itu
hanya bertahan selama seminggu.
Dan sekarang 11 Januari 2015, statusnya telah berubah
bersama orang lain. Fuihhh, syukurlah aku tidak perlu mengunyah ponsel. Oke,
rasanya cukup membahas soal pacaran. Mari lanjutkan membahas mengenai kegiatan
prakerin.
Sejauh ini, kegiatan prakerinku berjalan
lancar. Berangkat jam setengah tujuh pagi dan pulang jam lima sore. Jam kerja
sesuai dengan jam buka toko. Pekerjaanku juga mudah. Hanya menata display
dagangan dan membuat nota penjualan. Bagian kasir dipegang oleh pemilik toko. Sedangkan
bagian pembelian dan gudang ditangani karyawan tetap toko tersebut. Berhubung toko
itu milik perorangan dan buka setiap hari, maka aku juga berangkat tiap hari
tanpa libur di hari Minggu. Katanya sih bakalan dikasih bonus. Ya, semoga saja.