Minggu, 11 Januari 2015

Prakerin versus Pacaran



Senin 5 Januari 2015, aku mengawali semester genap dengan tugas prakerin di sebuah toko buku. Bukan toko buku  bacaan sejenis Gramedia, melainkan toko buku dan peralatan tulis. Sebuah toko yang berada di  kawasan pecinan. Aku sengaja memilih tempat prakerin yang dekat dengan rumah agar menghemat ongkos. Setidaknya untuk mendapatkan pengalaman kerja tidak harus membayar mahal, kan?
Tak banyak teman sekelas yang memilih prakerin di dalam kota. Mayoritas temanku memilih prakerin di Jogja. Mereka kadung kepincut suasana Jogja ketika kami survey lokasi tempo hari. Menurut mereka, prakerin di Jogja lebih menguntungkan. Selain mendapatkan pengalaman baru, mereka juga bisa sambil plesir di Jogja. Alih-alih belajar hidup mandiri jauh dari orangtua selama 2 bulan dan mendapatkan upah magang.
Kalau ingat Jogja, aku jadi ingat dia. Seseorang yang sempat istimewa buatku. Lebih tepatnya meminta diistimewakan olehku. Dan stasiun Tugu, Yogyakarta menjadi saksi bisu kandasnya hubungan kami.
Sebenarnya, dia tidak ikut dalam rombonganku ke Jogja. Aku sempat mengajaknya, tapi ia menolak dan malah mempermasalahkan keikutsertaanku ke Jogja. Memang acara survey lokasi prakerin ke Jogja bukan acara resmi dari pihak sekolah. Tapi demi solidaritas aku wajib ikut berpartisipasi bersama teman sekelasku. Dan aku tak mungkin membatalkannya hanya demi memenuhi permintaan seseorang. Lagipula orangtuaku juga mengizinkan aku pergi ke Jogja.
Acara ke Jogja itu dicetuskan oleh Mario, sang Ketua kelas dan kami telah merencanakannya sejak awal semester ganjil kelas XI. Selama enam bulan kami mengumpulkan uang kas kelas agar dapat berangkat ke Jogja bersama-sama. Beruntung, di akhir semester kami berhasil menyabet juara ketiga perlombaan pentas seni antar kelas.  Dan uang dari hadiah itu dapat kami jadikan dana tambahan untuk membiayai perjalanan kami ke Jogja.
Malam sebelum keberangkatanku ke Jogja, aku dan dia terlibat percekcokan di telepon. Dia masih berusaha membujukku untuk membatalkan kepergianku ke Jogja. Aku memang sempat galau dan tidak bisa tidur hingga lewat tengah malam. Akibatnya, aku nyaris kesiangan ke stasiun keesokan harinya.
Keberangkatanku ke Jogja diantar oleh sms kekesalannya. Hanya sms singkat berbunyi “ya” sebagai balasan sms pamitanku yang cukup panjang. Aku mencoba meneleponnya. Tidak diangkat dan malah dimatikan. Sepertinya dia ngambek. Suasana pagi yang seharusnya segar berubah pengap karena ulahnya.
Sesampai di Jogja aku berusaha mengabaikan pikiranku tentang dia. Tapi tetap saja aku masih memikirkannya saat menjejakan kakiku di sepanjang Malioboro. Aku sempat membayangkan betapa menyenangkannya kalau dia ada di sampingku. Bergandengan tangan dan menemaniku ngobrol di sepanjang jalan. Tanpa dia, aku jadi sangat pendiam. Rasanya enggan untuk berbicara dengan oranglain.
Setelah puas menjelajahi Malioboro. Mengamati display-display toko dan suasana perdagangan di sana, kami sepakat berkumpul di Stasiun Tugu. Kami tidak ingin terlalu malam sampai di Kutoarjo, maka kami putuskan untuk membeli tiket kereta jam 2.30 siang.
Masalah muncul saat rombongan kami tercerai-berai. Beberapa orang belum datang di stasiun. Dan justru mereka itulah yang membawa tiket kami. Kami berusaha untuk tetap tenang. Toh, jam masih menunjukkan pukul  1 siang. Masih ada waktu sejam lebih untuk beristirahat di stasiun.
Ketenanganku terusik saat sms berantai darinya menyerbu ponselku. Belum selesai membalas  satu sms, dua sms lainnya sudah menyusul masuk. Tak puas dengan serbuan sms, dia beberapa kali miscall. Ketika kuangkat dia hanya menanyakan “Kamu di mana? Dengan siapa? Lagi ngapain? Kok lama gak dibalas?”. Sederet pertanyaan klise yang mirip lagu jadul.
Karena ulahnya itu, baterai ponselku ngedrop. Mana tidak punya power bank dan tidak ada colokan lagi. Di saat ponselku kritis, aku meminjam ponsel Kakakku untuk meletakkan SIM card-ku sementara waktu. Syukurlah, Kakakku tidak keberatan.
Menjelang jam 2 siang, temanku si pembawa tiket belum muncul. Suasana mulai memanas dinaungi cuaca mendung siang itu. Perasaanku juga memanas ketika Kakakku mulai protes dengan dering ponselnya. Serbuan sms darinya menghujani ponsel Kakakku. Wajah Kakakku yang semula memerah karena kegerahan menjelma merah karena kekesalan terhadap sms darinya. Bagaimana tidak, karena ia mengirim sms di waktu yang tidak tepat dan isi sms yang tidak sesuai pula.
Aku jadi salah tingkah saat membaca smsnya yang menanyakan tentang konfirmasi status facebook secara berulang-ulang. Pertanyaan tentang hal sepele yang dianggapnya teramat penting bagi status hubungan kami. Haduh, boro-boro online facebookan, untuk sms-an saja aku pinjam ponsel Kakakku. Ia mengulang pertanyaan yang sama seakan-akan tidak percaya jika ponselku beneran ngedrop.
Aku lumayan lega ketika temanku datang membawa tiket kami. Kami langsung menuju peron dan mencari colokan charger. Sayangnya, aku baru sadar kalo kabel charger-ku tertinggal di rumah. Jadinya hanya ponsel  Kakakku yang di-charge. Dan serbuan sms darinya masih terus berlanjut hingga membuat Kakakku ngomel-ngomel.
Hujan deras mengguyur Jogja. Petir berkilatan dan mengelegar seolah berada sangat dekat denganku. Kabar buruknya, kereta Prameks yang akan kami tumpangi terlambat datang. Hujan makin deras dan membuat lantai stasiun digenangi air. Akhirnya, kami berpindah tempat dan mencari lokasi yang kering sembari nge-charge.
Ponsel Kakak kembali berdering. Telepon dari dia. Kakakku langsung me-reject panggilannya. Kakakku memang berpantang menerima telepon bila sedang nge-charge ponsel. Berbahaya katanya.
Sms darinya kembali menyerbu. Masih permintaan yang sama “konfirmasi status facebook”. Kakakku menekuk wajahnya. Semua sms darinya dihapus tanpa dibaca terlebih dahulu. Dia berulangkali menelepon dan selalu di-reject oleh Kakak.
“Nih, baca! Cepetan balas dan suruh berhenti sms lagi!” ketus Kakakku sambil menyodorkan ponsel yag masih di-charge. “Ganggu banget. Cepetan, aku juga butuh ngabarin rumah kalo kita telat pulang.”
Dia masih menanyakan hal yang sama dengan kalimat sedikit berbeda. Kalimat yang makin menyudutkanku. Seolah aku jahat karena mengabaikan permintaannya. Dia menempatkan diri sebagai korban kecuekanku. Aku tak habis pikir, sebegitu pentingnya status facebook baginya. Rasanya ia tak peduli tentang keadaanku yang sedang capek dan kehujanan.
Hambar menjalari perasaanku. Seperti inikah yang disebut pacaran? Pentingkah mengabarkan kepada seisi dunia maya bahwa aku berpacaran dengannya melalui status “berpacaran” di facebook? Boro-boro menanyakan keadaanku saat itu. Setidaknya sedikit pengertian dengan mengatakan “Sabar, Dik” atau “hati-hati di perjalanan”, “semoga hujannya lekas reda” atau apalah untuk sedikit menenangkanku. Toh besok aku dan dia bisa bertatap muka langsung.
Akhirnya, aku melepas kabel charger untuk menerima telepon darinya. Aku menepuk jidatku ketika dia masih membahas status facebook di telepon. Astaga, apakah dia tidak mendengar gelegar petir dari sana? Dengan berat hati aku mengatakan jika hubungan kami cukup sampai di sini. Aku memintanya agar tidak mengangguku lagi. Dan telepon kuakhiri.
Sayangnya, dia keliru menangkap pembicaraanku. Ia hanya mengartikan kalau aku memintanya berhenti menelepon dan sms. Dia mengirim 2 sms terakhir yang isinya permintaan maaf dan pemakluman bila aku belum mengkonfirmasi permintaannya. Astaga, rasanya aku ingin mengunyah ponsel saat itu juga.
Bagiku, hubungan kami sudah berakhir sore itu. Tapi dia masih belum menyerah untuk membuatku mengunyah ponsel. Sesampai di rumah, aku langsung meminjam laptop Kakak untuk mengerjakan tugas sekolah yang harus dikumpulkan hari Senin. Sambil menjelajahi internet mengumpulkan materi, aku membuka facebook untuk menghapus pertemananku dengannya. Belum sempat menekan kata remove, serbuan chatting membanjiri inbox-ku. Permintaan maaf, rayuan, janji manis dan sejenisnya bermunculan di kotak chatting.
Aku menjadi tak enak hati. Rasanya aku jahat banget jika tidak memaafkannya kali ini. Okelah, aku beri dia kesempatan. Aku tak tega membuat anak orang bersedih karena patah hati. Maka, aku mengkonfirmasi status “berpacaran” dengannya saat itu. Dan ternyata, status itu hanya bertahan selama seminggu.
Dan sekarang  11 Januari 2015, statusnya telah berubah bersama orang lain. Fuihhh, syukurlah aku tidak perlu mengunyah ponsel. Oke, rasanya cukup membahas soal pacaran. Mari lanjutkan membahas mengenai kegiatan prakerin.
Sejauh ini, kegiatan prakerinku berjalan lancar. Berangkat jam setengah tujuh pagi dan pulang jam lima sore. Jam kerja sesuai dengan jam buka toko. Pekerjaanku juga mudah. Hanya menata display dagangan dan membuat nota penjualan. Bagian kasir dipegang oleh pemilik toko. Sedangkan bagian pembelian dan gudang ditangani karyawan tetap toko tersebut. Berhubung toko itu milik perorangan dan buka setiap hari, maka aku juga berangkat tiap hari tanpa libur di hari Minggu. Katanya sih bakalan dikasih bonus. Ya, semoga saja.

       Aku berharap bisa menjalani kegiatan prakerin dengan baik. Selain mendapatkan nilai, aku juga mencari pengalaman kerja di lapangan. Meskipun hanya sebagai pramuniaga toko. Semoga kelak aku bisa menerapkan ilmu dan pengalaman yang didapatkan selama prakerin ke kehidupan nyata. Berwirausaha dengan berjualan buku dan alat tulis sepertinya menyenangkan dan menjanjikan.

Kamis, 01 Januari 2015

Yuk Bikin Putu Ayu



Liburan semester ganjil telah tiba, lumayan cukup panjang yaitu 2 minggu. Sayangnya, liburan ini aku kurang bisa menikmatinya. Kakiku sakit dan hatiku juga.  Agak ngenes juga saat jalinan cinta kandas di akhir tahun. Apalagi tanggal 5 Januari 2015 aku kudu mengikuti prakerin di sebuah toserba, padahal kakiku belum sembuh. Semoga besok aku bisa menjalani prakerin dengan baik meskipun badan kurang fit.
Daripada galau tidak jelas, mendingan mengisi liburan dengan belajar memasak. Hitung-hitung sebagai pemanasan kalau setelah liburan nanti dapat tugas bikin jajanan untuk dijual di kantin lagi. Kali ini, aku akan bikin kue putu ayu. Sesuai namanya, penampilan kue ini memang ayu alias cantik. Rasanya juga enak, manis berpadu gurihnya kelapa muda.
Menurutku, kue putu ayu termasuk jajanan sehat. Kue ini mengandung karbohidrat, protein, gula dan vitamin. Dan tentu saja cukup mengenyangkan. Cocok untuk cemilan saat jam istirahat di sekolah. Yuk saatnya mencoba bikin kue putu ayu. Cara membuatnya juga mudah dan praktis. Silakan menyimak resep berikut:
Kue Putu Ayu

Bahan :
  • 2 butir telur ayam
  • 200 gram gula pasir
  • 1 sdt ragi instan
  • 150 gram tepung terigu
  • 200 ml santan
  • pewarna hijau secukupnya
  • 100 gram kelapa muda parut
  • garam secukupnya
CARA MEMBUAT :
1.     Kocok telur, gula pasir dan ragi instan sampai mengembang dan putih. Lalu masukkan terigu. Aduk rata.
2.     Tuang santan sedikit demi sedikit sambil diaduk rata. Masukkan pewarna hijau, aduk hingga rata.
3.     Campur kelapa dan garam, aduk rata. Masukkan ke dasar cetakan sambil sedikit ditekan supaya padat. Tuang adonan putu ayu ke dalam cetakan hingga penuh.
  1. Panaskan panci pengukus, kukus adonan hingga matang. Angkat dan sajikan untuk 18 buah.

Iklan Diskon Zalora